Dugaan Malpraktek RSDS, Suyuti Tekankan Keterbukaan Komunikasi Untuk Gelar Mediasi
Suyuti mengemukakan bahwa pihaknya dari Dinas Kesehatan siap menjadi mediator kasus yang terjadi antara RS Doris Sylvanus dengan keluarga pasien Bayi Abraham.

Palangka Raya - Kasus malapraktek di dunia kesehatan selalu menjadi isu yang sensitif dan pelik. Berbagai pihak, termasuk keluarga korban dan pihak kesehatan, memiliki pandangan yang berbeda dalam menangani kasus seperti ini. Beberapa waktu lalu, terjadi kasus diduga malapraktek di RS Doris Sylvanus yang berujung pada kematian bayi Abraham.
Kasus ini menimbulkan pro dan kontra dalam penanganannya. Kepala Dinas Kesehatan Kalimantan Tengah, Suyuti Syamsul, menanggapi kasus ini dengan mengusung prinsip mediasi sebagai jalan keluar.
Suyuti mengemukakan bahwa pihaknya dari Dinas Kesehatan siap menjadi mediator kasus yang terjadi antara RS Doris Sylvanus dengan keluarga pasien Bayi Abraham. Menurutnya, RSDS merupakan bagian dari UPT Dinkes, namun memiliki sifat otonom karena bersifat khusus. Suyuti menyebutkan bahwa pihaknya telah berupaya memberikan masukan kepada kedua belah pihak meskipun tidak secara formal.
"Saya pernah memberikan masukan kepada kedua belah pihak, meskipun tidak secara formal. Jadi ke doris pada saat rapat dengan DPRD Kalteng saya minta lakukan audit internal. Doris pun infonya sudah melakukan audit internal, tapi saya pun tidak dalam kapasitas menilai hasil audit tersebut," ungkap Suyuti kepada awak media, Rabu (27/3).
Suyuti menilai bahwa untuk menilai sesuatu sebagai malpraktek atau tidak harus dilakukan oleh orang yang memiliki kapasitas keilmuan yang sama atau minimal setara untuk mengetahui apakah terdapat pelanggaran atau tidak. Oleh karena itu, jika masyarakat tidak dapat menerima hasil audit internal, dapat melapor ke Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK) atau Majelis Disiplin Kode Etik Kedokteran Indonesia (MKDKI).
"Pelaporan ke organisasi ini merupakan salah satu bentuk eksternal yang dapat dilakukan oleh masyarakat. Masyarakat juga dapat melakukan pelaporan ke Majelis Kode Etik Rumah Sakit Indonesia (MKRSI) jika kejadian ini dinilai sebagai bentuk kelalaian dari rumah sakit," imbuhnya.
Namun, Suyuti menekankan bahwa kasus ini dapat selesai jika dari masing-masing kedua belah pihak mau membuka diri untuk melakukan komunikasi. Disebutkannya mediasi haruslah dilakukan oleh mediator yang bersertifikasi baik tenaga kesehatan maupun pihak lain yang tersertifikasi sehingga keputusan dari mediasi memiliki kekuatan hukum yang sama dengan petusan pengadilan.
"Mediasi juga harus melibatkan kedua belah pihak dan dilakukan secara dua arah," tegasnya.
Suyuti menegaskan bahwa tindakan mediasi adalah alternatif yang tepat dalam menyelesaikan kasus malpraktek di rumah sakit. Setiap pihak harusnya membuka diri dan menjalankan komunikasi yang baik agar kasus ini dapat diatasi secara tuntas.
"Dalam menjalankan profesi sebagai tenaga kesehatan, kepercayaan masyarakat haruslah menjadi prioritas utama. Sehingga menyelesaikan kasus yang bersifat sensitif, mediasi dapat menjadi solusi yang tepat agar tercipta keadilan dan kedamaian bagi seluruh pihak yang terlibat," pungkasnya.