Ganja Medis dan Polemik Isu Konstitusional di Indonesia

Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan untuk melegalkan penggunaan ganja medis.

Ganja Medis dan Polemik Isu Konstitusional di Indonesia

Polemik penggunaan ganja medis di Indonesia kembali menjadi sorotan setelah Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan untuk melegalkan penggunaan ganja medis. Gugatan tersebut diajukan oleh Pipit Sri Hartanti dan Supardji, orang tua dari seorang anak pengidap cerebral palsy yang berharap dapat menggunakan ganja medis untuk pengobatan anaknya.

Menurut Singgih Tomi Gumilang, pengacara pemohon, ganja medis dapat digunakan sebagai terapi pengobatan dan telah terbukti aman serta efektif digunakan untuk terapi dan/atau pengobatan cerebral palsy di berbagai negara di dunia. Namun, Majelis Hakim MK menolak gugatan tersebut, menyatakan bahwa Indonesia tidak meratifikasi dokumen E/CN/7/2020/CRP.19 sehingga Indonesia tidak terikat untuk melegalisasi penggunaan ganja medis untuk pelayanan kesehatan.

Masalah ini menimbulkan polemik tentang isu konstitusionalitas, di mana para pemohon meminta Pasal 1 angka 2 UU 8/1976 dinyatakan bertentangan dengan Pasal 28H ayat 2 UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

“Di sisi lain, Majelis Hakim MK menyatakan bahwa belum ada bukti kajian yang komprehensif mengenai penggunaan ganja atau zat yang terkandung di dalamnya untuk layanan kesehatan,” ujarnya.

Meskipun demikian, Majelis Hakim MK meminta pemerintah untuk melakukan kajian terkait penggunaan ganja medis agar isu ini dapat terjawab secara ilmiah. Hal ini menunjukkan bahwa isu penggunaan ganja medis di Indonesia masih menjadi perdebatan dan perlu dilakukan kajian lebih lanjut untuk mencari solusi yang tepat.

Satu hal yang dapat dipahami dari polemik ini adalah bahwa isu kesehatan, termasuk penggunaan ganja medis, perlu dilihat dari sudut pandang kemanusiaan. 

“Keputusan untuk menggunakan ganja medis harus didasarkan pada kajian ilmiah yang komprehensif dan factual guna mendapatkan hasil terbaik bagi pasien yang membutuhkannya,” tambahnya.

Dalam rangka mewujudkan hak konstitusional setiap orang untuk hidup sejahtera lahir dan batin serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan, pemerintah perlu memastikan bahwa pengobatan yang digunakan aman dan efektif bagi pasien. Dalam mengambil keputusan terkait penggunaan ganja medis, harus diterapkan atas dasar kebijakan medis yang komprehensif dan spesifik terhadap setiap pasien.

Berikut petitum para pemohon:

1. Mengabulkan permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya.

2. Menyatakan muatan materi mengingat dan muatan materi Pasal 1 ayat (2) beserta penjelasannya serta materi muatan paragraf 7 dan paragraf 8 penjelasan umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 61 Beserta Protokol yang Mengubahnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1976 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3085) sepanjang kalimat protokol yang mengubah Konvensi Tunggal Narkotika 61 dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 45 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 'sebagai protokol yang mengubah Konvensi Tunggal Narkotika 61 hingga Protokol Sesi ke-63, termasuk di dalamnya document commission on narcotic drugs 63rd session, Vienna, 2 - 6 March 2020 yang menggunakan simbol dokumen E/CN.7/2020/CRP.9.

3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

Ikuti Nusapaper.com di Google News untuk mendapatkan berita terbaru.